Dari MULTIPLY :
Oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
MANUSIA - (3/3)
Dari sini dapat difahami mengapa yang dituntut untuk dipertanggungjawabkan hanya isi kalbu bukan isi nafs :
“Allah menuntut tanggungjawab kamu menyangkut apa yang dilakukan oleh kalbu kamu” (95 Al-Baqarah [2]: 225).
Namun dinyatakan bahwa :
“Allah lebih mengetahui (dari kamu sendiri) apa yang terdapat dalam nafs (diri kamu)” (QS Al-Isra' [17]: 25)
Di sisi lain seperti dikemukakan di atas, bahwa nafs adalah "sisi dalam" manusia, kalbu pun demikian, hanya saja kalbu berada dalam satu kotak tersendiri yang berada dalam kotak besar nafs. Dalam keadaannya sebagai kotak, maka tentu saja ia dapat diisi dan atau diambil isinya seperti yang digambarkan ayat-ayat berikut ini:
“Kami cabut apa yang terdapat dalam kalbu mereka rasa iri, sehingga mereka semua merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan” (QS Al-Hijr [15]: 47).
“Belum lagi masuk keimanan ke dalam kalbu kamu” (QS Al-Hujurat [49]: 14).
Bahkan Al-Quran menggambarkan bahwa ada kalbu yang disegel:
“Allah telah mengunci mati kalbu mereka” (QS Al-Baqarah [2]: 7), sehingga wajar jika Al-Quran menyatakan bahwa ada kunci-kunci penutup kalbu (QS Muhammad [47]:24).
Wadah kalbu dapat diperbesar, diperkecil atau dipersempit. Ia diperlebar dengan amal-amal kebajikan serta oleh jiwa. Al-Quran mengatakan, "mereka itulah yang diperluas kalbunya untuk menampung takwa" (QS Al-Hujurat [49]: 3). "Bukankah kami telah memperluas dadamu?" (QS Alam Nasyrah [94]: 1). "Dan siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, Dia menjadikan dada (kalbu) nya sempit lagi sesak" (QS Al-An'am [6]: 125).
Perlu ditambahkan bahwa Al-Quran - sesuai dengan kaedah bahasa Arab - seringkali menggunakan bagian dari sesuatu untuk menunjuk keseluruhan bagian-bagiannya, seperti menggunakan kata sujud dalam arti shalat yang mencakup berdiri, rukuk dan lain-lain. Al-Quran juga biasa menyebut sesuatu yang menggambarkan keseluruhan bagian-bagian, tetapi yang dimaksud hanyalah salah satu bagiannya seperti firman-Nya "mereka memasukkan jari-jari mereka ke dalam telinganya" (QS Al-Baqarah [2]: 19) dalam arti ujung jari-jari.
Al-Quran terkadang menggunakan kata nafs dalam arti kalbu. Biasa juga menyebut tempat sesuatu tetapi yang dimaksud adalah isinya, seperti "tanyakanlah kampung" (QS Yusuf [12]: 82), yang dimaksud adalah penghuninya, demikian seterusnya.
Kata dada dalam ayat di atas adalah tempat kalbu sebagaimana ditegaskan : “Sesungguhnya bukan mata yang buta, tetapi kalbu yang berada di dalam dada” (QS Al-Hajj [22]: 46).
Dalam beberapa ayat, kata qalb yang merupakan wadah itu, dipahami dalam arti "alat" seperti dalam firman-Nya: ”Mereka mempunyai kalbu tetapi tidak digunakan untuk memahami” (QS Al-A'raf [7]: 179). Kalbu sebagai alat, dilukiskan pula dengan fu'ad (seperti dalam firman-Nya: “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu. Maka Dia memberikanmu (alat-alat) pendengaran, (alat-alat) penglihatan serta (banyak) hati agar kamu bersyukur (menggunakannya untuk memperoleh pengetahuan)” (QS Al-Nahl [16]: 78).
Membersihkan kalbu, adalah salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan. Imam Al-Ghazali memberi contoh mengenai kalbu sebagai wadah pengetahuan serta cara mengisinya. "Kalau kita membayangkan satu kolam yang digali di tanah, maka untuk mengisinya dapat dilakukan dengan mengalirkan air sungai - dari atas - ke dalam kolam itu. Tetapi bisa juga dengan menggali dan menyisihkan tanah yang menutupi mata air. Jika itu dilakukan, maka air akan mengalir dari bawah ke atas untuk memenuhi kolam dan air itu jauh lebih jernih dari air sungai yang mengalir dari atas. Kolam adalah kalbu, air adalah pengetahuan, sungai adalah pancaindera dan eksperimen. Sungai (pancaindera) dapat dibendung atau ditutup, selama tanah yang berada di kolam (kalbu) dibersihkan agar air (pengetahuan) dari mata air memancar ke atas (kolam).
Al-Quran juga menegaskan bahwa Allah SWT dapat mendinding manusia dengan kalbunya.
“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mendinding antara manusia dan hatinya” (0S Al-Anfal [8]: 24).
Salah satu makna ayat ini adalah bahwa Allah menguasai kalbu manusia, sehingga mereka yang merasakan kegundahan dan kesulitan dapat bermohon kepada-Nya untuk menghilangkan kerisauan dan penyakit kalbu yang dideritanya. Ayat ini sangat berkaitan dengan firman-Nya dalam Al-Ra'd (13): 28: “Sesungguhnya hanya dengan mengingat Allah hati akan tenteram”.
Demikian sekelumit dari pengertian dan peranan hati yang diperoleh dari isyarat-isyarat Al-Quran.
Ruh
Berbicara tentang ruh, Al-Quran mengingatkan kita akan firman-Nya:
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, Ruh adalah urusan Tuhan-Ku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit" (QS Al-Isra' [17]: 85)
Apa yang dimaksud dengan pertanyaan tentang ruh di sini? Apakah substansinya? Kekekalan atau kefanaannya, kebahagiaan atau kesengsaraannya? Tidak jelas. Selain itu, apa yang dimaksud dengan "kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit"? Yang sedikit itu apa? Apakah yang berkaitan dengan ruh? Sehingga ada informasi sedikit tentang ruh, misalnya gejala-gejalanya? Ataukah "yang sedikit itu" adalah ilmu pengetahuan kita, tidak termasuk di dalamnya ruh, karena ilmu kita hanya sedikit.
Yang menambah sulitnya persoalan adalah bahwa kata ruh terulang di dalam Al-Quran sebanyak dua puluh empat kali dengan berbagai konteks dan berbagai makna dan tidak semua berkaitan dengan manusia. Dalam surat Al-Qadar misalnya dibicarakan tentang turunnya malaikat dan ruh pada malam Lailatul Al-Qadr. Ada juga uraian tentang ruh yang membawa Al-Quran.
Kata ruh yang dikaitkan dengan manusia juga dalam konteks yang bermacam-macam, ada yang hanya dianugerahkan Allah kepada manusia pilihan-Nya (QS Al-Mu'min [40]: 15) yang dipahami oleh sementara pakar sebagai wahyu yang dibawa malaikat Jibril, ada juga yang dianugerahkannya kepada orang-orang Mukmin (QS Al-Mujadilah [58]: 22) dan di sini dipahami sebagai dukungan dan peneguhan hati atau kekuatan batin dan ada juga yang dianugerahkannya kepada seluruh manusia, “Kemudian Kuhembuskan kepadanya dan ruh-Ku”.
Apakah di sini dia berarti nyawa? Ada yang berpendapat demikian, ada juga yang menolak pendapat ini karena dalam Surat Al-Mu'minun dijelaskan bahwa dengan ditiupkannya ruh maka menjadilah makhluk ini khalq akhar (makhluk yang unik), yang berbeda dari makhluk lain. Sedangkan nyawa juga dimiliki oleh orang utan, misalnya. Kalau demikian nyawa bukan unsur yang menjadikan manusia makhluk yang unik.
Demikian terlihat Al-Quran berbicara tentang ruh dalam makna yang beraneka ragam, sehingga sungguh sulit untuk menetapkan maknanya apalagi berbicara tentang substansinya.
Dalam beberapa hadis, ada disinggung tentang ruh, misalnya sabda Nabi SAW, “Ruh-ruh adalah himpunan yang terorganisasi, yang saling mengenal akan bergabung dan yang tidak saling mengenal akan berselisih”.
Hadis di atas seringkali dirangkaikan dengan ungkapan yang dikenal luas dalam literatur keagamaan: “Burung-burung akan bergabung dengan jenisnya”.
Hadis ini, sekali lagi tidak membicarakan apa yang disebut ruh tersebut. Dia hanya mengisyaratkan tentang keanekaragamannya dan bahwa manusia mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda dan setiap pemilik kecenderungan jiwanya akan bergabung dengan sesamanya.
Demikian kembali kita bertanya, "Apa ruh itu dan bagaimana ia?" Penulis lebih tenang dan mantap menjawab, “Katakanlah, Ruh adalah urusan Tuhan-Ku. Kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit”.
'Aql
Kata 'aql (akal) tidak ditemukan dalam Al-Quran, yang ada adalah bentuk kata kerja - masa kini dan lampau. Kata tersebut dari segi bahasa pada mulanya berarti tali pengikat, penghalang. Al-Quran menggunakannya bagi "sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa." Apakah sesuatu itu? Al-Quran tidak menjelaskannya secara eksplisit, namun dari konteks ayat-ayat yang menggunakan akar kata 'aql dapat dipahami bahwa ia antara lain adalah:
a. Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu, seperti firman-Nya dalam QS Al-'Ankabut (29): 43.
“Demikian itulah perumpamaan-perumpamaan yang Kami berikan kepada manusia, tetapi tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang alim (berpengetahuan)” (QS Al-'Ankabut [29]: 43)
Daya manusia dalam hal ini berbeda-beda. Ini diisyaratkan Al-Quran antara lain dalam ayat-ayat yang berbicara tentang kejadian langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang dan lain-lain. Ada yang dinyatakan sebagai bukti-bukti keesaan Allah SWT bagi "orang-orang berakal" (QS Al-Baqarah [2]: 164) dan ada juga bagi Ulil Albab yang juga dengan makna sama, tetapi mengandung pengertian lebih tajam dari sekadar memiliki pengetahuan.
Keanekaragaman akal dalam konteks menarik makna dan menyimpulkannya terlihat juga dari penggunaan istilah-istilah semacam nazhara, tafakkur, tadabbur dan sebagainya yang semuanya mengandung makna mengantar kepada pengertian dan kemampuan pemahaman.
b. Dorongan moral seperti firman-Nya,
“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yang nampak atau tersembunyi dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah dengan sebab yang benar. Demikian itu diwasiatkan Tuhan kepadamu, semoga kamu memiliki dorongan moral untuk meninggalkannya” (QS Al-'Anam [6]: 151).
c. Daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta "hikmah".
Untuk maksud ini biasanya digunakan kata rusyd. Daya ini menggabungkan kedua daya di atas, sehingga ia mengandung daya memahami, daya menganalisis dan menyimpulkan serta dorongan moral yang disertai dengan kematangan berpikir. Seseorang yang memiliki dorongan moral, boleh jadi tidak memiliki daya nalar yang kuat dan boleh jadi juga seseorang yang memiliki daya pikir yang kuat, tidak memiliki dorongan moral tetapi seseorang yang memiliki rusyd, maka dia telah menggabungkan kedua keistimewaan tersebut. Dari sini dapat dimengerti mengapa penghuni neraka di hari kemudian berkata,
“Seandainya kami mendengar dan berakal maka pasti kami tidak termasuk penghuni neraka” (QS Al-Mulk [67]: l0).
Demikian sekilas tentang pengertian kata-kata yang boleh jadi dapat menggambarkan sekilas tentang manusia dalam pandangan Al-Quran. Penulis sepenuhnya sadar bahwa uraian di atas amat terbatas. Uraian yang memadai mungkin dapat diperoleh dengan kerjasama pakar-pakar Al-Quran dengan Pakar dalam berbagai disiplin ilmu lain.
---------------------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net
0 comments:
Post a Comment
Kalau digumpal sekecil kuku, kalau dibentang selebar alam, walau sebesar biji labu, bumi dan langit ada di dalam ....